Coronavirus Disease 2019 - Dari Wuhan, menuju World hingga Pandemi
Coronavirus Disease 2019
Coronavirus disease 2019 atau COVID-19 (Penyakit koronavirus 2019) merupakan penyakit yang
disebabkan oleh SARS-CoV-2. COVID-19 juga
mengakibatkan pandemi koronavirus 2019-2020. Penyakit yang disebabkan oleh
infeksi SARS-CoV-2 pertama kalinya pada manusia terjadi pada akhir Desember
2019. Adapun wabah yang telah terdeteksi pertama kalinya berada di kota besar
Tiongkok, yakni kota Wuhan, Provinsi Hubei. Pemerintah Tiongkok sendiri telah
menutup beberapa kota termasuk kota Wuhan untuk mengantisipasi penularan
penyakit ini. Penutupan kota Wuhan sendiri adalah langkah yang sangat tepat bagi Kota
Wuhan sendiri untuk mengurangi jumlah orang yang tertular penyakit mematikan
ini. Terbukti dengan menurunnya jumlah corona di Kota Wuhan secara drastis
dalam beberapa minggu ini.
Nama corona berasal dari bahasa latin yang
berarti crown atau makhota. Penamaan virus ini sebagai coronavirus dikarenakan pada penampilan
karakteristik virion (bentuk infektif virus) dalam mikroskop elektron, yang memproyeksikan pinggiran permukaan virus yang
besar dan bulat yang menghasilkan gambar yang mengingatkan pada mahkota atau
korona matahari.
SARS-CoV-2 (Severe
acute respiratory syndrome coronavirus 2) termasuk dalam virus RNA, dapat menginfeksi
manusia (homo sapiens) dengan cara menyebar melalui percikan (droplets) dari
saluran pernapasan yang dikeluarkan saat sedang batuk atau bersin.. Pada 30 Januari 2020, wabah akibat SARS-CoV-2
ditetapkan sebagai darurat kesehatan global oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO). Penyebaran virus ini sangat
cepat sehingga WHO (World Health Organization) menyatakan penyakit ini sebagai
pandemi. Per tanggal 27 Maret 2020, lebih dari 893 kasus yang dikonfirmasi
positif coronavirus di Indonesia, 780 dari total kasus sedang dalam perawatan
medis, 78 meninggal dan 35 sembuh. Angka kematian akibat coronavirus di
Indonesia per tanggal 27 Maret 2020 tercatat sebagai yang tertinggi di Asia
Tenggara. Hal ini diperburuk dengan fasilitas kesehatan yang belum lengkap
untuk penanganan corona di beberapa wilayah terutama wilayah terpencil. Per
tanggal 27 Maret 2020,
setidaknya lebih dari 200 negara telah memiliki penduduk yang terjangkit
penyakit ini dengan total lebih dari 529.614 kasus, 23.976 meninggal, dan
123.380 sembuh. Per tanggal 27 Maret 2020, Amerika Serikat adalah Negara yang
memiliki kasus coronavirus terbesar di dunia dengan lebih dari 83.672 kasus dan
1.209 orang meninggal. Disusul oleh Tiongkok yang merupakan Negara pertama yang
terdeteksi wabah COVID-19.
Menurut NHC Tiongkok, sebagian besar dari mereka yang
meninggal adalah pasien yang lebih tua - sekitar 80% kematian yang tercatat
berasal dari mereka yang berusia di atas 60 tahun, dan 75% memiliki kondisi
kesehatan yang sudah ada termasuk penyakit
kardiovaskular dan diabetes. Kasus kematian pertama yang dilaporkan adalah seorang
pria berusia 61 tahun pada 9 Januari 2020 yang pertama kali dirawat di rumah
sakit Wuhan pada 27 Desember 2019. Kasus kematian pertama di luar Tiongkok
terjadi di Filipina, dimana seorang pria warga negara Tiongkok berusia 44
tahun menderita pneumonia parah dan meninggal pada 1 Februari. Pada 8
Februari 2020, diumumkan bahwa seorang warga Jepang dan seorang warga Amerika
Serikat meninggal akibat virus di Wuhan. Mereka adalah orang asing pertama yang
tewas akibat virus korona. Kasus kematian pertama di luar Asia terjadi di Paris, Prancis pada 15 Februari
2020, ketika seorang turis Tiongkok berusia 80 tahun dari Hubei meninggal
setelah dirawat di rumah sakit sejak 25 Januari 2020.
Virus SARS-CoV-2 tergolong dalam genus Betacoronavirus (Beta-CoV) dalam keluarga Coronaviridae. Penyakit yang
disebabkan Coronaviridae dapat berkisar dari pilek biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) dan sindrom pernapasan akut berat (SARS). Koronavirus adalah keluarga virus yang luas.
Namun, hanya enam virus (229E, NL63, OC43, HKU1, MERS-CoV, dan SARS-CoV) yang
sebelumnya diketahui menginfeksi manusia; SARS-CoV-2 merupakan jenis ketujuh
yang menginfeksi manusia.
Dilansir dari Wikipedia, Paru-paru adalah
organ yang paling terpengaruh oleh penyakit ini karena virus memasuki sel
inangnya lewat enzim pengubah
angiotensin 2 (angiotensin
converting enzyme 2 atau ACE2), yang paling banyak ditemukan di dalam
sel alveolar tipe II paru. SARS-CoV-2 menggunakan permukaan permukaan sel
khususnya yang mengandung glikoprotein yang
disebut "spike" untuk berhubungan dengan ACE2 dan memasuki sel
inang. Berat jenis ACE2 pada setiap jaringan berhubungan dengan tingkat
keparahan penyakit. Diduga, bahwa penurunan aktivitas ACE2 memberikan
perlindungan terhadap sel inang karena ekspresi ACE2 yang berlebihan akan
menyebabkan infeksi dan replikasi SARS-CoV-2.
Orang-orang yang terinfeksi mungkin memiliki gejala ringan, seperti
demam, batuk, dan kesulitan bernapas. Gejala diare atau infeksi saluran napas atas (bersin, pilek,
dan sakit tenggorokan) lebih jarang ditemukan. Kasus dapat berkembang
menjadi pneumonia berat, kegagalan multiorgan, dan kematian. Masa
inkubasi virus ini adalah selama 1-14 hari. Artinya seseorang bisa saja telah
terinfeksi oleh corona tetapi tidak merasakan gejalanya sebelum 1-14 hari paska
terinfeksi oleh corona. Hal ini dapat mempercepat laju penyebaran virus karena
menurut data studi di Tiongkok, 80 persen orang yang terjangkit oleh penyakit
ini tidak terdeteksi karena minim gejala.
Dilansir dari Wikipedia, Pada 22 Januari 2020, Journal of Medical Virology menerbitkan
laporan analisis genom yang menjelaskan bahwa ular di
wilayah Wuhan adalah "reservoir hewan liar yang paling mungkin" untuk
virus ini, tetapi diperlukan lebih banyak penelitian. Rekombinasi homolog mungkin
menyebabkan peristiwa ini.Beberapa ilmuwan percaya bahwa penyakit ini berasal
dari Bungarus multicinctus,
ular yang sangat berbisa yang dijual di pasar Wuhan. Berita di Nature mengkritik artikel Journal of Medical
Virology dengan menyatakan bahwa ular sangat tidak mungkin menjadi
reservoir, dan lebih cenderung pada mamalia. Banyak virolog juga sangat meragukan peranan ular
sebagai inang perantara.
Selama 17 tahun penelitian
tentang asal-usul epidemi SARS 2003, banyak koronavirus kelelawar yang
menyerupai SARS (SARS-like) diisolasi dan diurutkan, kebanyakan dari
mereka berasal dari genus Rhinolophus. Dengan genom yang cukup, rekonstruksi pohon filogenetik untuk mengetahui sejarah mutasi
koronavirus dapat dilakukan.
Koronavirus baru ini (SARS-CoV-2)
berada dalam kategori koronavirus yang menyerupai SARS. Dua urutan genom
dari Rhinolophus sinicus dengan
kemiripan 80% telah dipublikasikan pada tahun 2015 dan 2017. Sementara
itu, artikel pracetak di jurnal bioRxiv yang ditulis oleh peneliti dari Institut Virologi
Wuhan, Rumah Sakit Jinyintan Wuhan,
Universitas Akademi Sains Tiongkok, dan CDC Provinsi Hubei menyatakan bahwa
koronavirus ini kemungkinan berasal dari kelelawar, karena analisis mereka menunjukkan bahwa nCoV-2019
memiliki kemiripan 96% dengan koronavirus kelelawar yang diisolasi dari
kelelawar Rhinolophus affinis. Sebagai
perbandingan, jumlah mutasi ini mirip dengan jumlah mutasi yang diamati selama
10 tahun pada flu manusia H3N2.
Hewan yang dijual sebagai makanan dicurigai
sebagai reservoir atau perantara virus karena banyak dari individu yang
terinfeksi pertama kali adalah pekerja di Pasar Makanan Laut Huanan. Akibatnya,
mereka terpapar kontak yang lebih besar dengan hewan
Hingga saat ini, tidak ada vaksin yang tersedia untuk
menangani pasien COVID-19. Karena vaksin untuk SARS-CoV-2 baru tersedia paling cepat
2021, hal penting dalam penanganan pandemi penyakit koronavirus 2019 adalah
menekan laju penyebaran virus. Hal ini dapat menurunkan risiko kekurangan
tenaga medis atau bahkan kekurangan rumah sakit untuk penanganan penyakit ini.
Beberapa tindakan yang dapat menekan laju persebaran virus antara lain dengan
sering menuci tangan dengan sabun dan air hingga bersih, tidak menyentuh bagian
wajah, menghindari bepergian dan beraktifitas di tempat ramai, menghindari
kerumunan, menjaga jarak atau social distancing, tidak meludah sembarangan, menghindari
kontak dengan orang sakit, beretika ketika bersin, tidak mengadakan acara
perkumpulan atau pertemuan dalam jumlah besar, serta tetap berada di dalam
rumah (self-quarantine). Adapun penggunaan masker, WHO (World Health
Organization) hanya merekomendasikan penggunaan masker untuk orang yang sedang
sakit (pilek, batuk dan bersin) atau tim medis yang sedang menangani pasien
yang terjangkit. Hal ini dapat mengurangi masalah stok masker yang selalu
diborong habis oleh masyarakat.
Bagaimanapun, kita sebagai masyarakat walau tidak dapat
bertindak layaknya pahlawan seperti tenaga medis yang menangani kasus penyakit
ini, setidaknya kita berpartisipasi dalam upaya pemerintah untuk menekan laju
penyebaran virus ini dengan selalu mengikuti prosedur dan petunjuk pemerintah
serta sering membuka berita tentang perkembangan kasus coronavirus ini. Kita
belum dapat mengobatinya, tetapi kita dapat mencegahnya menyebar luas.
Selasa,
24 Maret 2020
(Terakhir
disunting oleh Muhammad Nur Wahyudi pada 27 Maret 2020 pukul 13.07 WITA)
Komentar
Posting Komentar